Hai! Kali ini saya membuat cerpen tentang harapan yang diinginkan oleh seorang anak untuk mencapai cita-citanya. Tetapi sang ibu tidak mendukungnya. Dan cerpen kali ini berjudul "Mengertilah". Oh ya, jika suka dengan cerita dibawah bisa klik share dan tinggalkan komentar ya. Terima kasih sudah membaca dan, enjoy. . .
Yoroshiku Onegaishimasu~ :-)
Yoroshiku Onegaishimasu~ :-)
Dokter
.
Tentara
.
Polisi
.
Guru
Tentara
.
Polisi
.
Guru
Mungkin
itu rata-rata jawaban ketika seorang anak kecil ditanya soal apa yang mereka
cita-citakan. Mereka dengan lantang menjawab apa keinginan mereka, menjawab
dengan penuh rasa percaya diri
Dan, mungkin juga para orang tua selalu mendukungnya tanpa si anak kecil sadari.
Dan, mungkin juga para orang tua selalu mendukungnya tanpa si anak kecil sadari.
Tapi tidak
denganku, aku tidak tahu apa yang aku inginkan di masa depan. Bahkan, untuk
sekarangpun aku hanya melakukan semua yang orang tua inginkan. Orang tuaku
mengidolakan seorang pianis jazz terkenal
indonesia yang sudah mendunia yaitu Joey Alexander, sehingga mereka terobsesi
menjadikanku seperti idola mereka.
Minggu.
Aku paling benci hari itu, kenapa? Karena hari minggu merupakan hari dimana aku
menghabiskan waktu untuk les piano. Tidak seperti yang lain, menghabiskan waktu
dengan teman atau orang-orang yang mereka sayangi.
“Syahfa.
. . Ayo bangun. Satu jam lagi kamu sudah harus berangkat les. Mandi terus
sarapan”
“Baik bu. . .” Ujarku
“Baik bu. . .” Ujarku
Setibanya
di tempat les aku tidak langsug latihan, aku ngobrol dulu dengan pelatihku,
namanya Candra. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Kak Candra. Bisa dibilang
aku cukup dekat dengannya. Aku menceritakan tentang ketidaktertarikanku
terhadap piano, masalah kebosananku dengan rutinitas yang setiap minggu harus
les piano dan semua hal yang aku tidak suka dengan aktivitasku saat ini.
Usai
latihan selesai, aku langsung keluar gedung menemui ibuku yang sudah lama
menunggu di parkiran. Di perjalanan pulang aku tidak banyak bicara atau
menceritakan bagaimana dan apa yang terjadi selama les tadi. Aku lebih fokus
melihat lalu lalang kendaraan di luar jendela. Tapi tidak dengan ibuku, dia
selalu ingin tahu ada perkembangan apa setelah latihan tadi,
“Halo, Can.
Gimana tadi Syahfa latihannya?” Tanya ibuku
“Sudah cukup bagus, tidak ada masalah dengan tangga nada mayor dan kres nya bu. Sudah lebih baik dari pertemuan sebelumnya” Jawab Kak Candra
“Oh ya, saya lihat di internet ada kompetesi piano dan pelaksanaannya bulan depan di Jakarta. Syahfa harus diikutsertakan ya Can”
“Tapi bu, Syahfa belum cukup lancar membaca not di partitur. Dan dia juga baru dua bulan mengenal piano bu” Lanjut Kak Candra
“Intinya saya ngga mau tahu ya, Syahfa harus ikut kompetesi ini. Kesempatan bagus jangan disia-siakan, sudah daftarkan saja Can untuk Syahfa. . .”
“Sudah cukup bagus, tidak ada masalah dengan tangga nada mayor dan kres nya bu. Sudah lebih baik dari pertemuan sebelumnya” Jawab Kak Candra
“Oh ya, saya lihat di internet ada kompetesi piano dan pelaksanaannya bulan depan di Jakarta. Syahfa harus diikutsertakan ya Can”
“Tapi bu, Syahfa belum cukup lancar membaca not di partitur. Dan dia juga baru dua bulan mengenal piano bu” Lanjut Kak Candra
“Intinya saya ngga mau tahu ya, Syahfa harus ikut kompetesi ini. Kesempatan bagus jangan disia-siakan, sudah daftarkan saja Can untuk Syahfa. . .”
Mendengar
percakapan tadi aku langsung mengeraskan volume pada earphone yang kupakai.
Seakan-akan aku tidak mendengar
percakapan yang baru saja terjadi. Aku kesal, karena pasti waktu untuk
les piano akan bertambah. Aku harus bagaimana dengan keadaan seperti ini?
Setelah sampai rumah aku langsung masuk ke kamar. Seperti biasa, ketika beres membersihkan badan aku langsung membuka sebuah buku favoritku, aku suka membuat desain-desain baju pada lembaran-lembaran kertas. Ya, buku favoritku adalah buku kosong yang berisi coretan-doretan desain baju. Entah kenapa aku merasa nyaman ketika aku melakukan kegiatan ini. Mungkin jika diberi kesempatan, aku akan menekuni bidang ini. Tapi ibuku mengharapkan aku menjadi yang lain.
Tok tok
tok. . .
“Syahfa, lagi ngapain, ibu masuk ya. . .”
Ibuku langsung masuk ke kamar tanpa persetujuanku. Aku segera membereskan segala sesuatu yang ada di atas meja belajarku sebelum ibu melihat. Belum selesai, ibu langsung mengambil buku dan merobek kertas yang berisi desain itu.
“Kamu ngapain sih, coret-coret kaya ngga ada kerjaan aja. Mau jadi apa nanti kalo kamu cuma gambar-gambar kaya gitu. Mending latihan buat persipan kompetesi bulan depan. Ibu itu sudah berusaha ya cari uang buat kamu belajar piano, supaya kamu jadi pianis hebat!”
“Syahfa, lagi ngapain, ibu masuk ya. . .”
Ibuku langsung masuk ke kamar tanpa persetujuanku. Aku segera membereskan segala sesuatu yang ada di atas meja belajarku sebelum ibu melihat. Belum selesai, ibu langsung mengambil buku dan merobek kertas yang berisi desain itu.
“Kamu ngapain sih, coret-coret kaya ngga ada kerjaan aja. Mau jadi apa nanti kalo kamu cuma gambar-gambar kaya gitu. Mending latihan buat persipan kompetesi bulan depan. Ibu itu sudah berusaha ya cari uang buat kamu belajar piano, supaya kamu jadi pianis hebat!”
Seketika
aku kesal mendengar ibu berbicara seperti itu.
“Bu, ibu pernah ngga sih berpikir tentang anak nya pengin jadi apa, minat nya apa, suka nya apa?! Aku juga ngga nyuruh ibu buat susah-susah cari uang supaya aku jadi pianis seperti harapan ibu. Aku ngga bakal bisa,mau latihan sekeras apapun itu, soalnya aku ngga ada minat di situ, aku pengin jadi Desainer bu, bukan pianis! Ibu ngga pernah kan berpikir seperti itu?!” tegasku.
“Cukup. Kamu harus nurut apa kata ibu!! Brakkkk!!!!”
“Bu, ibu pernah ngga sih berpikir tentang anak nya pengin jadi apa, minat nya apa, suka nya apa?! Aku juga ngga nyuruh ibu buat susah-susah cari uang supaya aku jadi pianis seperti harapan ibu. Aku ngga bakal bisa,mau latihan sekeras apapun itu, soalnya aku ngga ada minat di situ, aku pengin jadi Desainer bu, bukan pianis! Ibu ngga pernah kan berpikir seperti itu?!” tegasku.
“Cukup. Kamu harus nurut apa kata ibu!! Brakkkk!!!!”
Ibuku
keluar dari kamar sambil menutup pintu dengan keras.
Aku kesal, marah, menangis sepanjang malam karena aku benci keadaan seperti ini. Tidak ada lagi yang mau mendengarkan ceritaku, berbeda ketika ayah masih ada. Aku bisa menceritakan semua hal pada ayah dan selalu didengar olehnya. Tidak seperti ibuku.
Aku kesal, marah, menangis sepanjang malam karena aku benci keadaan seperti ini. Tidak ada lagi yang mau mendengarkan ceritaku, berbeda ketika ayah masih ada. Aku bisa menceritakan semua hal pada ayah dan selalu didengar olehnya. Tidak seperti ibuku.
**********
Keesokan
harinya,
Hari ini aku bangun lebih pagi, kubuka jendela ternyata awan sedang tidak bersahabat. Tapi untungnya suasana hati sudah lebih baik daripada semalam. Sebelum berangkat, kutinggalkan Note di atas meja makan.
Hari ini aku bangun lebih pagi, kubuka jendela ternyata awan sedang tidak bersahabat. Tapi untungnya suasana hati sudah lebih baik daripada semalam. Sebelum berangkat, kutinggalkan Note di atas meja makan.
Ibu,
Ketika ibu membangunkanku mungkin aku sudah tidak ada,
Karena hari ini aku berangkat sekolah lebih pagi. . .
Aku mohon ibu dapat mempertimbangkan apa yang aku bicarakan pada ibu semalam.
Aku pamit ya bu,
Terima kasih. . .
Itulah
isi dari Note yang kutulis untuk ibu. Kuletakkan disana karena disitulah tempat
kami berdua biasanya bertemu. Ya, hanya saat makan saja aku dan ibuku bertemu.
Ditengah
perjalanan menuju sekolah, tampaknya hujan sudah tak sabar untuk menunjukkan
diri. Hujan turun sangat deras dan disertai angina kencang, aku memutuskan
berteduh sejenak dan memakai jas hujan yang kubawa dari rumah. Setelah selesai,
aku langsung berlari melanjutkan perjalananku karena jarak ke sekolah sudah
dekat.
Ketika
berlari. . .(Deg. . . .hening)
Aku terjatuh, terbaring tak berdaya. Inginku rasanya bangkit, tapi semakin kucoba untuk bangkit, semua badanku terasa sakit. Penglihatanku agak kabur dan sekujur tubuhku terasa sakit begitu dalam hingga mencapai tulang-tulangku. Keningku terasa basah. Perlahan-lahan aku berusaha membuka mata. Tetapi sangat sulit. Keningku yang basah kuusap dengan tanganku dan terlihat samar-samar cairan kental yang berbau amis.
Aku terjatuh, terbaring tak berdaya. Inginku rasanya bangkit, tapi semakin kucoba untuk bangkit, semua badanku terasa sakit. Penglihatanku agak kabur dan sekujur tubuhku terasa sakit begitu dalam hingga mencapai tulang-tulangku. Keningku terasa basah. Perlahan-lahan aku berusaha membuka mata. Tetapi sangat sulit. Keningku yang basah kuusap dengan tanganku dan terlihat samar-samar cairan kental yang berbau amis.
Aku mendengar
teriakan orang-orang yang seakan-akan mereka semua berada menglilingiku. Aku
tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka katakana. Tetapi, aku hanya samar
mendengar “Kecelakaan. . . . kecelakaan. . . tolong hubungi polisi!”
Setelah
itu, aku menutup mata dan tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi
Ayah, apa sekarang kita bisa bertemu untuk yang kedua kalinya?
**********