Wednesday, 1 April 2020

Cerpen Keluarga - Aku Bisa

Hai! Kali ini saya membuat cerpen tentang seorang anak yang diharuskan untuk memilih bangkit atau tetap dalam keterpurukan ketika orang tuanya bercerai. Dan cerpen kali ini berjudul "Aku Bisa"Oh ya, jika suka dengan cerita dibawah bisa klik share dan beri komentar ya. Terima kasih sudah mau membaca dan Enjoy!. . .
Yoroshiku Onegaishimasu ~ :-)



Hidupku semakin tak terarah sejak perdebatan hebat terjadi antara ayah dan ibuku. Inginku mencari ruang kosong untuk  menenangkan diri sejenak dari perang hebat antara kedua orang tuaku. Kata orang, Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, tapi bukan perpisahan seperti ini yang aku inginkan. Ya benar, tidak lama dari perdebatan itu orang tuaku bercerai. Hal yang ditakuti pun benar-benar terjadi pada keluargaku. Aku tidak tahu persis apa penyebabnya mereka bercerai.


Lima bulan berlalu, setelah kejadian itu, aku hidup berdua bersama Ibu. Aku tidak berani bertanya tentang keberadaan ayah, karena sebelumnya ibu sudah berkata padaku jangan bertanya apapun tentang ayah.

“Dini, sarapan dan uang saku kamu sudah Ibu siapkan, jangan lupa makan. Nanti kalau mau berangkat kunci pintunya”
“Baik bu. . .”

Mungkin itu kata yang selalu diucapkan setiap pagi oleh Ibuku sebelum berangkat bekerja.
Waktu sudah menunjukkan pukul 06:13, tandanya aku harus bergegas ke sekolah.
Di tengah perjalanan aku melihat seorang laki-laki tua dan sepertinya aku tidak asing dengan beliau. Aku cermati baik-baik, namun ada yang aneh, beliau sedikit kurus. Ku beranikan diri untuk menghampiri beliau, dan ternyata benar. Itu Kakek,

“ Kakek, apa kabar? Lama tidak bertemu. . .” Tanyaku sambil bersalaman
“Alhamdulillah kabar Kakek baik Din, kamu sendiri sehat kan, sekolah lancar tidak?”
“Kabar Dinda juga baik Kek, sekolah juga lancar. Oh iya, Kakek sendirian ?”
“Engga kok, Kakek berdua sama ayahmu, itu lagi beli minum, kenapa Din?
“Engga papa Kek”

Asyik mengobrol, tiba-tiba ayah datang menghampiri kami dari belakang

“Bapak ngobrol dengan siapa?” Tanya ayah penasaran
“Ini loh Dinda, katanya kangen sama kamu Riz”
“Benar? Wah Dinda apa kabar, sudah lama ngobrol dengan Kakek?”

Akupun terdiam sejenak, rasanya bahagia masih diberi kesempatan untuk bisa melihat ayah lagi. Lama tidak berjumpa, obrolan pun menjadi canggung seperti bertemu dengan orang baru saja.
“Loh kok jadi bengong begitu, Din. . . Dinda?” Tanya ayah
“Eh maaf yah, hehe Dinda sehat. Ayah gimana, sehat juga kan?
“Iya ayah juga sehat kok. Dinda mau berangkat sekolah ya, ayo sekalian ayah antar. . .”
"Iya yah. . ."

Aku sangat senang, rasanya seperti ada asupan energi yang masuk kedalam tubuhku. Seolah mendorongku untuk melakukan segala aktivitas dengan lebih semangat.

Selesai sekolah aku langsung bergegas pulang, matahari pun bersinar cerah seakan tahu apa yang aku rasakan hari ini. Jika aku ceritakan pada Ibu, kira-kira apa yah reaksinya?
                              
                                                        ***
Sejak hari itu, aku secara diam-diam sering bertemu dengan ayah, entah itu bertemu hanya untuk obrolan ringan atau dengan topik berat seperti apa yang akan aku lakukan setelah lulus sekolah, rasanya lebih nyaman saja ketika membahas sesuatu kita langsung bertatap muka dari pada melalui  telpon atau chat. Tentunya sangat penting minta pendapat ayah, karena Ibu sedikit bodo amat tentang masa depanku. Selalu menjawab dengan kata terserah kamu saja ketika ditanya tentang hal itu.

“Dini, cepat sini tolong bantu Ibu. . .”
“Iya, Dini kesitu. Ada pesanan kue ya bu, kok tumben mendadak?”
“Iya, tadi Ibu RT baru menyampaikan dan ini untuk acara nanti sore, untung masih pagi jadi bisa kekejar. Sekarang Ibu mau ke pasar dulu ya, kamu tolong aduk gula jawanya sampai mengental”
“Baik bu. . .”

Ibuku sering menerima pesanan untuk membuat kue atau jajanan untuk acara syukuran, kata Ibu sih untuk tambahan uang saku. Dan kebetulan ini hari minggu, jadi aku bisa meringankan pekerjaan Ibu

Tiga puluh menit berlalu dan Ibu sudah pulang belanja, selesai merapihkan belanjaan kami langsung membuat jenis kue lain, di sela membuat kue aku iseng bertanya kepada Ibu tentang keinginanku melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.

“Ibu, Dinda mau minta pendapat Ibu boleh?”
“Boleh, tentang apa, pacar? Kamu pacaran sama orang mana Din? Hehe” balas Ibu sambil tertawa kecil
“Ko malah pacar sih bu, bukan. Dinda pengin sekolah lagi, dan mau ambil jurusan arsitek, menurut Ibu bagaimana?”
“Kamu yakin ambil jurusan arsitek? Sudah tahu dan dipertimbangkan untuk prospek kedepan seperti apa?
“Sudah bu, Dinda yakin dengan pilihan itu, Dinda bersungguh-sungguh dan merasa mampu ambil jurusan ini bu”
“Tidak ambil yang lain saja? Kamu kan pintar dalam pelajaran yang berhubungan dengan angka, misal matematika murni atau matematika bisnis? Tapi semua terserah kamu saja, jika memang sudah pasti ingin ambil jurusan arsitek ya sudah, Ibu hanya bisa mendoakan semuanya lancar dan kamu bisa masuk universitas terbaik pilihan kamu. Yang terpenting adalah jangan goyah, ingat tujuanmu dan teruslah melangkah”
“Baik bu. . .”

Selesai membantu Ibu, aku langsung menuju kamar untuk beristirahat, dan sudah diduga ketika ditanya Ibu menjawab dengan kata-kata terserah kamu saja. Tapi, pasti aku akan selalu memegang apa yang di ucapakan oleh Ibu

“Puk Puk, Bunda dicariin om, katanya pengin ngomong sama Bunda, Om nya sudah Zidna suruh masuk dan ada di depan nda”
“Eh ada Zidna, terimakasih ya sudah kasih tahu Bunda”

Aku dikagetkan oleh Zidna yang menepuk lenganku, Akupun menyeka air mata yang tanpa kusadari menetes ketika sedang membaca kembali catatanku yang berisi harapan atau plan sederhana saat itu. Dan Zidna adalah putra pertamaku, andaikan Ayah dan Ibu tahu sekarang aku sudah mempunyai pangeran kecil yang selalu ada disampingku. Ayah dan Ibu, walaupun kalian sudah tidak bersatu, tetapi kalian tetap jadi orang tua terbaik untukku. Dan Aku tidak pernah memilih untuk membenci salah satu dari kalian, terimakasih untuk tidak membuatku semakin terpuruk dalam keadaan dan kembali untuk bangkit. Semoga kalian bahagia. . .

                                                    *****

The End

Sunday, 22 December 2019

Cerpen Keluarga "Mengertilah"



Hai! Kali ini saya membuat cerpen tentang harapan yang diinginkan oleh seorang anak untuk mencapai cita-citanya. Tetapi sang ibu tidak mendukungnya. Dan cerpen kali ini berjudul "Mengertilah". Oh ya, jika suka dengan cerita dibawah bisa klik share dan tinggalkan komentar ya. Terima kasih sudah membaca dan, enjoy. . .
Yoroshiku Onegaishimasu~ :-)





Dokter
.
Tentara
.
Polisi
.
Guru

Mungkin itu rata-rata jawaban ketika seorang anak kecil ditanya soal apa yang mereka cita-citakan. Mereka dengan lantang menjawab apa keinginan mereka, menjawab dengan penuh rasa percaya diri
Dan, mungkin juga para orang tua selalu mendukungnya tanpa si anak kecil sadari.
Tapi tidak denganku, aku tidak tahu apa yang aku inginkan di masa depan. Bahkan, untuk sekarangpun aku hanya melakukan semua yang orang tua inginkan. Orang tuaku mengidolakan seorang pianis  jazz terkenal indonesia yang sudah mendunia yaitu Joey Alexander, sehingga mereka terobsesi menjadikanku seperti idola mereka.


Minggu. Aku paling benci hari itu, kenapa? Karena hari minggu merupakan hari dimana aku menghabiskan waktu untuk les piano. Tidak seperti yang lain, menghabiskan waktu dengan teman atau orang-orang yang mereka sayangi.
“Syahfa. . . Ayo bangun. Satu jam lagi kamu sudah harus berangkat les. Mandi terus sarapan”
“Baik bu. . .” Ujarku


Setibanya di tempat les aku tidak langsug latihan, aku ngobrol dulu dengan pelatihku, namanya Candra. Aku biasa memanggilnya dengan sebutan Kak Candra. Bisa dibilang aku cukup dekat dengannya. Aku menceritakan tentang ketidaktertarikanku terhadap piano, masalah kebosananku dengan rutinitas yang setiap minggu harus les piano dan semua hal yang aku tidak suka dengan aktivitasku saat ini.

Usai latihan selesai, aku langsung keluar gedung menemui ibuku yang sudah lama menunggu di parkiran. Di perjalanan pulang aku tidak banyak bicara atau menceritakan bagaimana dan apa yang terjadi selama les tadi. Aku lebih fokus melihat lalu lalang kendaraan di luar jendela. Tapi tidak dengan ibuku, dia selalu ingin tahu ada perkembangan apa setelah latihan tadi,

“Halo, Can. Gimana tadi Syahfa latihannya?” Tanya ibuku
“Sudah cukup bagus, tidak ada masalah dengan tangga nada mayor dan kres nya bu. Sudah lebih baik dari pertemuan sebelumnya” Jawab Kak Candra
“Oh ya, saya lihat di internet ada kompetesi piano dan pelaksanaannya bulan depan di Jakarta. Syahfa harus diikutsertakan ya Can”
“Tapi bu, Syahfa belum cukup lancar membaca not di partitur. Dan dia juga baru dua bulan mengenal piano bu” Lanjut Kak Candra
“Intinya saya ngga mau tahu ya, Syahfa harus ikut kompetesi ini. Kesempatan bagus jangan disia-siakan, sudah daftarkan saja Can untuk Syahfa. . .”


Mendengar percakapan tadi aku langsung mengeraskan volume pada earphone yang kupakai. Seakan-akan aku tidak mendengar  percakapan yang baru saja terjadi. Aku kesal, karena pasti waktu untuk les piano akan bertambah. Aku harus bagaimana dengan keadaan seperti ini?

Setelah sampai rumah aku langsung masuk ke kamar. Seperti biasa, ketika beres membersihkan badan aku langsung  membuka sebuah buku favoritku, aku suka membuat desain-desain baju pada lembaran-lembaran kertas. Ya, buku favoritku adalah buku kosong yang berisi coretan-doretan desain baju. Entah kenapa aku merasa nyaman ketika aku melakukan kegiatan ini. Mungkin jika diberi kesempatan, aku akan menekuni bidang ini. Tapi ibuku mengharapkan aku menjadi yang lain.

Tok tok tok. . .
“Syahfa, lagi ngapain, ibu masuk ya. . .”
Ibuku langsung masuk ke kamar tanpa persetujuanku. Aku segera membereskan segala sesuatu yang ada di atas meja belajarku sebelum ibu melihat. Belum selesai, ibu langsung mengambil buku dan merobek kertas yang berisi desain itu.

“Kamu ngapain sih, coret-coret kaya ngga ada kerjaan aja. Mau jadi apa nanti kalo kamu cuma gambar-gambar kaya gitu. Mending latihan buat persipan kompetesi bulan depan. Ibu itu sudah berusaha ya cari uang buat kamu  belajar piano, supaya kamu jadi pianis hebat!”

Seketika aku kesal mendengar ibu berbicara seperti itu.
“Bu, ibu pernah ngga sih berpikir tentang anak nya pengin jadi apa, minat nya apa, suka nya apa?! Aku juga ngga nyuruh ibu buat susah-susah cari uang supaya aku jadi pianis seperti harapan ibu. Aku ngga bakal bisa,mau latihan sekeras apapun itu, soalnya aku ngga ada minat di situ, aku pengin jadi Desainer bu, bukan pianis! Ibu ngga pernah kan berpikir seperti itu?!”  tegasku.
“Cukup. Kamu harus nurut apa kata ibu!! Brakkkk!!!!”

Ibuku keluar dari kamar sambil menutup pintu dengan keras.
Aku kesal, marah, menangis sepanjang malam karena aku benci keadaan seperti ini. Tidak ada lagi yang mau mendengarkan ceritaku, berbeda ketika ayah masih ada. Aku bisa menceritakan semua hal pada ayah dan selalu didengar olehnya. Tidak seperti ibuku.

**********

Keesokan harinya,

Hari ini aku bangun lebih pagi, kubuka jendela ternyata awan sedang tidak bersahabat. Tapi untungnya suasana hati sudah lebih baik daripada semalam. Sebelum berangkat, kutinggalkan Note di atas meja makan.

Ibu,
Ketika ibu membangunkanku mungkin aku sudah tidak ada,
Karena hari ini aku berangkat sekolah lebih pagi. . .  
Aku mohon ibu dapat mempertimbangkan apa yang aku bicarakan pada ibu semalam.
Aku pamit ya bu,
Terima kasih. . .


Itulah isi dari Note yang kutulis untuk ibu. Kuletakkan disana karena disitulah tempat kami berdua biasanya bertemu. Ya, hanya saat makan saja aku dan ibuku bertemu.

Ditengah perjalanan menuju sekolah, tampaknya hujan sudah tak sabar untuk menunjukkan diri. Hujan turun sangat deras dan disertai angina kencang, aku memutuskan berteduh sejenak dan memakai jas hujan yang kubawa dari rumah. Setelah selesai, aku langsung berlari melanjutkan perjalananku karena jarak ke sekolah sudah dekat.

Ketika berlari. . .(Deg. . . .hening)
Aku terjatuh, terbaring tak berdaya. Inginku rasanya  bangkit, tapi semakin kucoba untuk bangkit, semua badanku terasa sakit. Penglihatanku agak kabur dan sekujur tubuhku terasa sakit begitu dalam hingga mencapai tulang-tulangku. Keningku terasa basah. Perlahan-lahan aku berusaha membuka mata. Tetapi sangat sulit. Keningku yang basah kuusap dengan tanganku dan terlihat samar-samar cairan kental yang berbau amis.
Aku mendengar teriakan orang-orang yang seakan-akan mereka semua berada menglilingiku. Aku tidak mendengar dengan jelas apa yang mereka katakana. Tetapi, aku hanya samar mendengar “Kecelakaan. . . . kecelakaan. . . tolong hubungi polisi!”

Setelah itu, aku menutup mata dan tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi
Ayah, apa sekarang kita bisa bertemu untuk yang kedua kalinya?

**********

Monday, 16 December 2019

Cerpen bertema kasih sayang keluarga, harapan, kegigihan dan cita-cita

Hai, Kali ini saya membuat cerpen dengan tema kasih sayang dilingkungan keluarga dengan judul "Harapan Seorang Ibu". Oh ya, jangan lupa kasih kritik dan saran di kolom komentar ya. Terimaksih sudah membaca dan, Enjoy. . .





Duduk manis di beranda rumah, kegiatan yang selalu dilakukan saat libur sekolah, menikmati udara pagi yang sejuk di rumah reot peninggalan almarhum ayahku.
Aku remaja miskin 16 tahun yang tak banyak berharap tentang harapan, cita-cita bahkan kesuksesan. Tapi itu hak semua orang untuk meraihnya, walaupun terdengar  mustahil jika terjadi kepadaku.
Apa yang harus kulakukan nanti ketika aku beranjak dewasa? Apa aku terus dengan keadaan seperti ini?


“Zahra. . . masuk nak, kita sarapan dulu” suara ibuku yang sontak membuyarkan lamunanku.
“Dan setelah sarapan  tolong belikan bahan-bahan untuk membuat kue ya nak, ibu tidak enak badan”
“Baik bu,” singkatku.
Sang surya mulai bergerak ke arah persinggahannya. Dan ini waktunya untuk menjajakan kue buatan ibuku.


“Kue, kue, kue. . . silahkan pak, bu dibeli kuenya.”
itulah senjata yang selalu ku gunakan untuk menarik pembeli. Aku menjajakan kue ini dengan berkeliling kampung. Mungkin dengan cara menjemput bola jajanan ini akan cepat habis terjual.
“dek, beli kuenya,harganya berapa satu biji?”
“cuma seribu rupiah bu”
“ya ini ibu beli lima ya dek”
“terimakasih ya bu. . .”
Senja sudah menampakkan sinarnya, dua jam berkeliling tapi jajanan ini belum habis terjual. Tapi Alhamdulillah sudah ada beberapa uang yang kudapat untuk keperluan esok hari.


“Assalamu’alaikum, bu?”
“W’alaikumsalam, eh sudah pulang. Sini duduk dulu, ibu ambilkan air minum ya”
“tidak usah bu, Zahra bisa ambil sendiri, ibu kan masih sakit, jadi lebih baik ibu istirahat”
Kurebahkan tubuh ini di atas kasur tipis, walaupun tak seempuk dulu tapi setidaknya masih bisa menopang tubuh yang letih ini.

Hari berganti, seperti hari-hari sebelumnya, aku melakukan aktivitas layaknya anak-anak yang lain. Aku segera bersiap-siap pergi kesekolah.
“Braaaakkkkkkkkkk!!!”
Suara cukup keras yang ku dengar disela aku sedang mengenakan jilbabku, aku langsung lari menuju kamar ibu lantaran sudah dua bulan terakhir sakit parah.
“Astaghfirullah, ibu kenapa?” Kepanikanku menjadi lantaran kudapati ibuku sudah tergeletak diatas lantai. Tanpa pikir panjang langsung ku bantu ibuku untuk berbaring di atas tempat tidur.
“Terimakasih nak, tapi ibu tidak apa-apa. Ibu Cuma pengin ke kamar kecil, tapi tiba-tiba  kepala ibu terasa pusing, berat dan ibu terjatuh”
“Kalau ada apa-apa ibu bisa panggil aku, nanti biar kubantu bu”
“Ibu tak mau merepotkan kamu nak, Ya sudah sana berangkat kesekolah.”
“tapi bagaimana dengan ibu kalau aku tinggal sendirian dirumah?”
“Insya Allah ibu bisa jaga diri, dan perlu kamu ingat. Kita boleh miskin harta, tapi kita tidak boleh miskin ilmu dan agama”
“Iya bu, Zahra akan selalu ingat nasihat ibu, Zahra berangkat dulu ya bu, Assalamu’alaikum. . ”
“Wa’alaikumsalam . . .”

Tet, tet, tet. . . bel istirahat kedua berbunyi, itu tanda berakhirnya jam pelajaran di kelas. Waktu untuk sekedar menyegarkan pikiran yang telah bergelut selama dua jam dengan materi.
Allahu Akbar Allahu Akbar. . .
Suara adzan dzuhur berkumandang, aku langsung menuju mushola sekolah untuk menunaikan kewajibanku.
Assalamu’alaikum warahmatullah,
Assalamu’alaikum warahmatullah,
Shalat selesai, entah mengapa air  mata ini keluar dari persembunyiannya, dengan tangan menengadah keatas aku berdoa. Berdoa untuk kesembuhan ibuku.
“Ya Allah, ampunilah dosa ibu hamba, angkatlah penyakitnya,panjangkanlah umur ibu hamba,  berilah kesehatan pada ibu hamba supaya bisa beraktivitas seperti semula. Hamba sangat menyayangi beliau Ya Allah, Aamiin Aamiin Ya Rabbal alamin…”

Jam sekolah usai, dan ketika aku memasuki gang kecil menuju rumahku, terlihat bapak tua berlari sambil memanggil-manggil namaku dan menghampiriku. Pikiranku kacau, aku berpikir yang tidak-tidak mengenai ibuku. Dan  ternyata benar.
Innalillahi wainnailaihi rojiun. .
Pak RT memberikan kabar itu kepadaku. Aku langsung berlari menuju rumah. Air mataku mengalir semakin deras, aliran nafasku tak teratur, badanku gematar, entah aku sekarang harus bagaimana. Ya Allah, kenapa engkau mengambil lagi bagian dari keluargaku setelah engkau mengambil ayahku dulu. Aku belum membahagiakan ibuku ya Allah. Aku semakin menjadi setelah melihat ibuku yang pucat dan dingin itu.
“Sabar nak, semua pasti akan mengalami kematian, dan tidak ada yang mampu menandingi kuasa-Nya” tutur pak RT sambil mengelus pundakku
Aku pun tersadar, ku genggam tangan ibuku yang dingin. Bu, aku berjanji akan terus belajar, berdoa dan berusaha. Aku akan selalu ingat pesan ibu.


Aku duduk termenung disebuah kursi, mengingat kejadian dua puluh tahun yang lalu saat ibuku meninggal, dan air mata ini pun kembali turun membasahi pipi.
“Permisi bu, sepuluh menit lagi ibu ada jadwal operasi pada pasien kamar nomer 13”
“Iya sebentar lagi saya ke ruang operasi suster, terimakasih sudah mengingatkan”
“Iya, sama-sama dok’
Aku bangkit dari kursi dan. . .
“Ibu, Bapak semoga kalian senang dengan apa yang aku lakukan sekarang”



Sunday, 8 December 2019

Cerpen (Cerita Pendek) Remaja, Penantian, Keluarga dan Cinta

Hai!

Tentunya sudah tidak asing lagi kan dengan kata "Cerpen". Cerpen sendiri mempunyai arti yaitu jenis karya sastra yang berbentuk prosa naratif fiktif/fiksi dimana isinya menceritakan/menggambarkan kisah suatu tokoh beserta segala konflik dan penyelesaiannya, yang ditulis secara ringkas dan padat. (sumber: maxmanroe.com)

Dibawah ini adalah cerpen yang saya buat yang berjudul "Dia, Kembali"
Selamat membaca, dan jangan lupa untuk memberikan kritik dan saran dikolom komentar. Enjoy. . .

Zain         : Kamu  mau lanjut kemana?
Nasya      : Aku sih rencana mau melanjutkan ke salahsatu universitas di Jakarta, karena aku setelah ini akan ikut tinggal dengan kakak ku yang sudah berkeluarga disana
Zain        : Oh gitu yah,
Nasya     : Iya, kamu sendiri gimana, Jadi?
Zain        : InsyaAllah aku jadi kesana. Doain mudah-mudahan disana betah ya, maafin juga kalo ada  salah kata sama perbuatan yang sengaja maupun engga disengaja. Bakal kangen deh sama kamu. Hehe.
Nasya     : Apaan sih, ko jadi kaya perpisahan terakhir gini. Kesannya tuh kaya bakal ngga ketemu lagi
Zain        : Bukan gitu, kan disana 4 tahun, mengabdi 2 tahun, terus disana juga tanpa hp kecuali keadaan tertentu, tapi aku usahain bakal ngasih kabar ke kamu kok, tenang aja Sya. Eh udah dulu ya, aku mau lanjut beres-beres soalnya besok udah harus berangkat. Semangat terus Sya! Assalamu’alaikum. . .
Nasya    : Wa’alaikumsalam. . .

Wahhhhhh, sudah 6 tahun terlewat, dia apa kabar ya, apakah sehat? Nah kan jadi flashback gara-gara ga sengaja baca chat yang masih belum dihapus. . . .

Dia Zain, lengkapnya Iqbal Zain, teman dekat sewaktu masih dibangku SMA, hampir semua hal tentang ku dia tau. Semenjak Zain melanjutkan kuliah sambil mondok jarang sekali kasih kabar, kadang 2 bulan sekali, itu pun singkat dan hanya bisa lewat media sosial. Beda banget dengan dulu yang hampir setiap hari ada chat dari Zain.
Dan aku Nasya Alfira, setelah lulus kuliah sekarang bekerja disalahsatu perusahaan yang bergerak dibidang properti di Jakarta.

“Hey!! ” salahsatu teman kantor menepuk pundak dan mengagetkanku
“Kamu tuh kebiasaan yah ngagetin kaya gitu, kalo jantungan gimana? Bisa tamat nanti” Jawabku
“Lagian tumben banget melamun kaya gitu, habis baca apaan sih di hp? Settt! sini dong aku ikut baca juga. Zain? Siapa dia? Terus chat dari tahun kapan ini Sya, kok kamu ngga hapus? Kenapa? Spesial ya? Hahaha” Jahilnya sambil merebut hp dari genggamanku
“Dia cuma temen ko, bukan siapa-siapa. Udah balikin sini hp nya terus ayo kita pulang. Kamu mau ikut pulang apa mau nginep aja disini” singkatku
“Let’s goooooo kita pulang. . . . .”

Ditengah perjalanan pulang hp ku berdering. Setelah kulihat layar hp ternyata telpon dari ibu.
“Assalamu’alaikum, Iya ibu? Ko tumben banget malem-malem gini telpon?”
“Wa’alaikumsalam, Ibu pengin ngobrol aja sama kamu Sya”
“Ibu ngga kenapa-kenapa? Ibu sehat kan?” cemasku
“Alhamdulillah ibu sehat. Besok kan sabtu, kamu bisa pulang kerumah?, ada yang ingin ibu bicarakan Sya”
“Baik bu, besok aku kesana. Assalamu’alaikum. . .”

“Ada apa ini. . .?” Dalam hati dengan rasa tidak enak
 Setelah ibu telpon tadi hati dan pikiranku menjadi tidak tenang, setiba dirumah aku bercerita pada kakak bahwa ibu tadi telpon dan ingin aku pulang menemui ibu. Aku sempat khawatir lantaran ibu baru sembuh dari sakit. Tapi kakak meyakinkanku bahwa tak akan terjadi apa-apa pada ibu.

Keesokan harinya. .  .

Matahari tidak bersinar secerah biasanya, hari ini ditemani oleh awan mendung yang seakan menjadi pertanda akan datangnya hujan. Dan benar saja, tak lama hujan pun datang, ini semakin membuat ku khawatir tentang ibu. Sepanjang perjalanan pikiranku dipenuhi dengan ibu, aku memikirkan hal yang tidak-tidak terjadi pada ibu. Akupun menghela nafas dan berkata dalam hati “Tenang Sya, ibu pasti baik-baik aja”

Tak lama akupun tiba di halaman rumah ibu. Aku menjadi bingung nampaknya ada banyak orang didalam, tanpa pikir panjang aku langsung masuk kedalam rumah. Aku semakin bingung, kenapa ada seorang pemuda duduk disana, sepertinya aku juga tak asing dengan wajah itu. Benar, itu Zain. Ada Zain dan oragtuanya disana. Ada apa? Aku langsung duduk disamping ibu. Lalu Ibu menjelaskan maksud kedatangan Zain dan keluarga kesini untuk apa.
Setelah mengetahui semuanya, entah kenapa tiba-tiba perasaanku berubah. Yang tadinya khawatir menjadi bingung dan juga senang. Raut wajah Zain juga terlihat bahagia.
Lalu, ayah Zain membuka pembicaraan
“Bagini bu langsung saja, kedatangan saya dan keluarga kemari melamar putri ibu, Nasya Alfira untuk anak saya Zain, mudah-muadahan ibu dan Nasya bisa menerima niat baik kami”
“Kalau ini sih terserah pada Nasya saja, saya sebagai ibu akan mendukung pilihan anak, kalau selama itu baik dan anak menyukainya” jawab ibu
Aku diam sejenak memikirkan apa yang harus ku katakan sebagai jawabannya. Karena ini keputusan yang besar dan pastinya akan menuju ke jenjang yang serius yaitu pernikahan. Tentu aku senang, karena pemuda yang melamarku adalah Zain, teman dekatku dulu
“Jadi bagaimana nak Nasya, ?” lanjut ayah Zain
“Bismillahirrahmanirrahim, baik pak saya terima lamarannya. . .”
“Alhamdulillah. .  .” suara bahagia orang di sekelilingku

Semua terlihat senang, tak terkecuali Zain, dia melihat kearahku dan tersenyum sangat manis. Senyum yang biasa dia perlihatkan ketika sedang bahagia.
Setelah acara selesai, aku langsung memeluk ibu erat-erat dan berkata, “Kenapa ibu ngga jelasin semuanya ditelpon? Kan aku bisa mempersiapakan dulu sebelumnya bu, dan kesini bersama kakak”
“Apa yang mau dipersiapkan? Lagian kakak mu sudah ibu kasih tahu, dan katanya juga ada keperluan yang harus diselesaikan hari itu juga, dan nak Zain yang minta ini dirahasaiakan supaya jadi kejutan buat kamu. Yasudahlah sana masuk kamar istirahat, kamu pasti capek.” Jawab ibu
"Ternyata kakak sudah tahu tentang hal ini? Pantesan sebelum Nasya kesini kakak nyuruh buat pakai pakaian yang rapi. Ya sudah Nasya masuk ke kamar dulu"

Setelah selesai mandi aku duduk di kursi dekat jendela dan melihat senja nan elok. Sepertinya langit juga merasakan kebahagiaan yang ku rasakan saat ini.
kling kling kling. . . hp ku berbunyi, setelah kulihat ada pesan masuk dari nomer yang tak kukenal.
“ Assalamu’alaikum Sya, ini aku Zain. Kamu sehat kan? Lama tak jumpa. Maaf sebelumnya karena tidak memberitahu terlebih dahulu, tapi aku sudah siap dan yakin ini waktunya, melihat kamu lagi setelah beberapa tahun ternyata kamu banyak berubah, dan pastinya semakin cantik. Hehe. Terimakasih sudah menerima lamaranku. Dan mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi kelancaran untuk kedepannya. Aamiin. Oh ya, kamu bisa simpan nomer ini dan hubungi aku kalo kamu kangen ya. Hehehe. Kamu sekarang istirahat. Assalamu’alaikum Sya” begitulah isi pesannya

Jantungku berdetak semakin kencang tak berirama setelah membaca pesan itu. Sejujurnya aku juga sangat senang. Terimakasih ya Allah telah menjawab do’a ku, memberiku pria yang soleh, baik. Dan lancarkanlah segala sesuatu untuk kedepanya. Aamiin Ya Robbal Alamin.

Thursday, 5 December 2019

Puisi Rindu




RINDU
Karya : Lutfatul Kafifah

Sesekali dia datang
Datang dalam sukma
Dikala suasana sepi
Selalu ada rasa akan hadirmu
Selalu ada rasa akan rindumu


Kamu…
Yang selalu ada di setiap perjalananku
Disetiap hembusan nafasku
Kapan kau hadir kembali dalam kehidupan nyataku
Kapan bisa selalu berjuang bersama lagi?

Canda tawa itu selalu terngiang di pikiranku
Senyuman itu yang membuatku semangat disetiap langkahku
Semangat untuk mengejar apa yang harus dikejar
Apa yang harus dilakukan
Dan apa yang harus diperjuangkan

Tapi semua ini cuma bisa diungkapkan dengan kata yang indah
Rangkaian kata yang tak bisa dimengerti semua orang
Yang hanya bisa dimengerti oleh kita, Ibu. . .