Wednesday, 1 April 2020

Cerpen Keluarga - Aku Bisa

Hai! Kali ini saya membuat cerpen tentang seorang anak yang diharuskan untuk memilih bangkit atau tetap dalam keterpurukan ketika orang tuanya bercerai. Dan cerpen kali ini berjudul "Aku Bisa"Oh ya, jika suka dengan cerita dibawah bisa klik share dan beri komentar ya. Terima kasih sudah mau membaca dan Enjoy!. . .
Yoroshiku Onegaishimasu ~ :-)



Hidupku semakin tak terarah sejak perdebatan hebat terjadi antara ayah dan ibuku. Inginku mencari ruang kosong untuk  menenangkan diri sejenak dari perang hebat antara kedua orang tuaku. Kata orang, Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, tapi bukan perpisahan seperti ini yang aku inginkan. Ya benar, tidak lama dari perdebatan itu orang tuaku bercerai. Hal yang ditakuti pun benar-benar terjadi pada keluargaku. Aku tidak tahu persis apa penyebabnya mereka bercerai.


Lima bulan berlalu, setelah kejadian itu, aku hidup berdua bersama Ibu. Aku tidak berani bertanya tentang keberadaan ayah, karena sebelumnya ibu sudah berkata padaku jangan bertanya apapun tentang ayah.

“Dini, sarapan dan uang saku kamu sudah Ibu siapkan, jangan lupa makan. Nanti kalau mau berangkat kunci pintunya”
“Baik bu. . .”

Mungkin itu kata yang selalu diucapkan setiap pagi oleh Ibuku sebelum berangkat bekerja.
Waktu sudah menunjukkan pukul 06:13, tandanya aku harus bergegas ke sekolah.
Di tengah perjalanan aku melihat seorang laki-laki tua dan sepertinya aku tidak asing dengan beliau. Aku cermati baik-baik, namun ada yang aneh, beliau sedikit kurus. Ku beranikan diri untuk menghampiri beliau, dan ternyata benar. Itu Kakek,

“ Kakek, apa kabar? Lama tidak bertemu. . .” Tanyaku sambil bersalaman
“Alhamdulillah kabar Kakek baik Din, kamu sendiri sehat kan, sekolah lancar tidak?”
“Kabar Dinda juga baik Kek, sekolah juga lancar. Oh iya, Kakek sendirian ?”
“Engga kok, Kakek berdua sama ayahmu, itu lagi beli minum, kenapa Din?
“Engga papa Kek”

Asyik mengobrol, tiba-tiba ayah datang menghampiri kami dari belakang

“Bapak ngobrol dengan siapa?” Tanya ayah penasaran
“Ini loh Dinda, katanya kangen sama kamu Riz”
“Benar? Wah Dinda apa kabar, sudah lama ngobrol dengan Kakek?”

Akupun terdiam sejenak, rasanya bahagia masih diberi kesempatan untuk bisa melihat ayah lagi. Lama tidak berjumpa, obrolan pun menjadi canggung seperti bertemu dengan orang baru saja.
“Loh kok jadi bengong begitu, Din. . . Dinda?” Tanya ayah
“Eh maaf yah, hehe Dinda sehat. Ayah gimana, sehat juga kan?
“Iya ayah juga sehat kok. Dinda mau berangkat sekolah ya, ayo sekalian ayah antar. . .”
"Iya yah. . ."

Aku sangat senang, rasanya seperti ada asupan energi yang masuk kedalam tubuhku. Seolah mendorongku untuk melakukan segala aktivitas dengan lebih semangat.

Selesai sekolah aku langsung bergegas pulang, matahari pun bersinar cerah seakan tahu apa yang aku rasakan hari ini. Jika aku ceritakan pada Ibu, kira-kira apa yah reaksinya?
                              
                                                        ***
Sejak hari itu, aku secara diam-diam sering bertemu dengan ayah, entah itu bertemu hanya untuk obrolan ringan atau dengan topik berat seperti apa yang akan aku lakukan setelah lulus sekolah, rasanya lebih nyaman saja ketika membahas sesuatu kita langsung bertatap muka dari pada melalui  telpon atau chat. Tentunya sangat penting minta pendapat ayah, karena Ibu sedikit bodo amat tentang masa depanku. Selalu menjawab dengan kata terserah kamu saja ketika ditanya tentang hal itu.

“Dini, cepat sini tolong bantu Ibu. . .”
“Iya, Dini kesitu. Ada pesanan kue ya bu, kok tumben mendadak?”
“Iya, tadi Ibu RT baru menyampaikan dan ini untuk acara nanti sore, untung masih pagi jadi bisa kekejar. Sekarang Ibu mau ke pasar dulu ya, kamu tolong aduk gula jawanya sampai mengental”
“Baik bu. . .”

Ibuku sering menerima pesanan untuk membuat kue atau jajanan untuk acara syukuran, kata Ibu sih untuk tambahan uang saku. Dan kebetulan ini hari minggu, jadi aku bisa meringankan pekerjaan Ibu

Tiga puluh menit berlalu dan Ibu sudah pulang belanja, selesai merapihkan belanjaan kami langsung membuat jenis kue lain, di sela membuat kue aku iseng bertanya kepada Ibu tentang keinginanku melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan.

“Ibu, Dinda mau minta pendapat Ibu boleh?”
“Boleh, tentang apa, pacar? Kamu pacaran sama orang mana Din? Hehe” balas Ibu sambil tertawa kecil
“Ko malah pacar sih bu, bukan. Dinda pengin sekolah lagi, dan mau ambil jurusan arsitek, menurut Ibu bagaimana?”
“Kamu yakin ambil jurusan arsitek? Sudah tahu dan dipertimbangkan untuk prospek kedepan seperti apa?
“Sudah bu, Dinda yakin dengan pilihan itu, Dinda bersungguh-sungguh dan merasa mampu ambil jurusan ini bu”
“Tidak ambil yang lain saja? Kamu kan pintar dalam pelajaran yang berhubungan dengan angka, misal matematika murni atau matematika bisnis? Tapi semua terserah kamu saja, jika memang sudah pasti ingin ambil jurusan arsitek ya sudah, Ibu hanya bisa mendoakan semuanya lancar dan kamu bisa masuk universitas terbaik pilihan kamu. Yang terpenting adalah jangan goyah, ingat tujuanmu dan teruslah melangkah”
“Baik bu. . .”

Selesai membantu Ibu, aku langsung menuju kamar untuk beristirahat, dan sudah diduga ketika ditanya Ibu menjawab dengan kata-kata terserah kamu saja. Tapi, pasti aku akan selalu memegang apa yang di ucapakan oleh Ibu

“Puk Puk, Bunda dicariin om, katanya pengin ngomong sama Bunda, Om nya sudah Zidna suruh masuk dan ada di depan nda”
“Eh ada Zidna, terimakasih ya sudah kasih tahu Bunda”

Aku dikagetkan oleh Zidna yang menepuk lenganku, Akupun menyeka air mata yang tanpa kusadari menetes ketika sedang membaca kembali catatanku yang berisi harapan atau plan sederhana saat itu. Dan Zidna adalah putra pertamaku, andaikan Ayah dan Ibu tahu sekarang aku sudah mempunyai pangeran kecil yang selalu ada disampingku. Ayah dan Ibu, walaupun kalian sudah tidak bersatu, tetapi kalian tetap jadi orang tua terbaik untukku. Dan Aku tidak pernah memilih untuk membenci salah satu dari kalian, terimakasih untuk tidak membuatku semakin terpuruk dalam keadaan dan kembali untuk bangkit. Semoga kalian bahagia. . .

                                                    *****

The End